Pages

Jumat, 17 Desember 2010

Episode Kebahagiaan Keluarga

Bagikan :

Seorang ayah berkata: "Terima kasih anakku, rezeki Tuhan untukku karena kehadiranmu."
Seorang anak berkata: "Terima kasih ayahku, rezeki Tuhan untukku karena kerja kerasmu."


Saudaraku tercinta ...

Kutipan dialog singkat di atas menggambarkan indahnya keharmonisan sebagai impian bersama di dalam keluarga. Keharmonisan ini dibangun bersama-sama dengan melibatkan seluruh anggota keluarga dengan keterlibatan yang sungguh-sungguh, bukan sekedar diucapkan tetapi dapat dibuktikan, dilihat dan dirasakan langsung oleh semuanya, tanpa terpisah-pisah. Tak ada yang dominan, semua berperan sama dan seimbang. Orang tua dan anak. Tetua dan muda-mudi. Laki-laki dan perempuan.

Keharmonisan dimulai dari sebuah sikap (attitude) seluruh anggota keluarga. Sikap yang dipertunjukkan apa adanya. Tanpa pretensi, tanpa maksud yang disembunyikan. Ambil contoh keberadaan seorang ayah di hadapan anaknya. Ia datang dengan sebuah 'keberanian'. Berani melepas ego-nya sebagai ayah, dengan membisikkan sesuatu di telinga anaknya: apa yang hendak dilakukan sang ayah tak lebih dari keseriusan meyakinkan anaknya tentang cintanya yang tulus. Cinta yang diartikan sebagai bentuk kepedulian total. Ayah yang benar-benar ingin tahu tentang anaknya, tentang masalahnya, juga tentang jati diri dan perkembangannya.

Ayah yang juga berani melepaskan sejenak 'kekuasaannya' sebagai pemimpin keluarga, dan kemudian mengakui peran penting anaknya. Tanpa anak, peran ayah meredup. Anak ia junjung, bukan karena maksud mengabaikan hierarkhi dan bangunan ketaatan yang menjadi kewajiban anak, tetapi demi menyentuh hati anak, mendekatkan rasa satu sama lain. Agar mudah menyampaikan pesan dan nasehat. Tak lupa sang ayah pun rela menghargai anaknya dengan pengakuan tulus betapa kerja kerasnya menafkahi keluarga tak berarti apa-apa tanpa hadirnya anak. Menurutnya, anak adalah 'jembatan' rejekinya dan menjadi alasan Tuhan 'menoleh' dan kemudian mencurahkan rezeki-Nya untuk keluarga itu.

Anak pun demikian, sikapnya dibangun di atas pondasi cinta yang kokoh kepada orang tuanya. Ia tidak lagi melihat deretan kewajiban anak sebagai 'bencana' hidup, tetapi diubahnya menjadi wujud kasih sayang orang tua. Anak tahu betapa kerasnya sang ayah bekerja membanting usia dan tenaganya demi menghidupi keluarga. Ia pun tahu darimana semua pangkal kemampuan ayahnya ketika memenuhi rengekan dan rayuan permintaannya. Ia lupakan apapun watak ayahnya, yang diingat hanyalah peluh dan perih sang ayah dalam bekerja. Karena itu lidahnya tak pernah kelu mengucapkan syukur apapun pencapaian ayahnya. Baginya ayah adalah faktor krusial--faktor sangat penting--yang melengkapi garis kehidupannya sepanjang hayat.

Keharmonisan bukanlah imajinasi dari negeri dongeng yang penuh khayal. Ia sungguh-sungguh nyata, sangat bisa untuk difaktakan. Keharmonisan keluarga lahir dari kombinasi hati mereka yang menjalankan kehidupan di dalamnya. Hati yang menyiratkan sikap saling menghargai satu sama lain dan menjadi komitmen bersama yang disepakati dengan serius. Orang tua menitiskan beragam sifat positif yang sangat dibutuhkan anak untuk perkembangan mentalnya. Mereka bukan sekedar mengajarkan, tetapi juga langsung memberi contoh kepada anaknya bagaimana arti penting kebersamaan dan cara menghargai orang lain. Sementara anak mengikuti dengan tekun proses pendewasaan atau pematangan karakter dan merekam seluruh keteladanan orang tuanya dengan dedikasi dan trust (kepercayaan) tingkat tinggi.

Jika cara ini dipertahankan, lambat laun pondasi harmoni keluarga menjadi kuat karena ber"bahan dasar" sikap saling menghargai dan memahami posisi masing-masing. Sekaligus juga bisa menjadi benteng tangguh yang sangat kokoh untuk bertahan dari hantaman krisis konflik atau percekcokan. Meskipun muncul konflik sekalipun, maka sikap ini pula yang mampu menekan masalah agar tidak membesar dan berlarut-larut. Karena dengan sikap saling menghargai tidak perlu ada kecurigaan berlebihan apalagi hingga ada tuduhan yang menyakitkan hati. Orientasi penyelesaian masalah yang muncul adalah dengan memberikan ruang yang cukup kepada siapa saja untuk menyampaikan isi hati dan keluhannya, dan menjauhi cara-cara pembungkaman dan pengacuhan keberanian berbicara blak-blakan.

Orang tua yang kerap kewalahan menghadapi perilaku anak, mungkin bisa mempertimbangkan solusi ini, yaitu melacak kembali apa yang sudah pernah ia lakukan dan berikan kepada anak. Apakah hubungan yang dibangun selama ini sudah berdasarkan sikap saling menghargai ataukah sebaliknya? Atau nilai apa saja yang sudah ditanamkan ke dalam nurani dan karakter anak? Mungkin saja perilaku anak tersebut sebenarnya hanyalah 'umpan balik' dari apa yang ia dapatkan dari orang tuanya. Karena itu, rasanya, kurang adil jika menimpakan semua akibat dari perilaku anak kepada anak saja. Dari pintu ini orang tua bisa masuk dan belum terlambat untuk memperbaikinya.

Ujung-ujungnya, keharmonisan menjadi sumber kebahagiaan keluarga. Tidak perlu lagi ada konflik berkepanjangan dan menyimpan api dalam sekam. Episode kebahagiaan dalam keluarga bisa lebih berumur panjang.

0 komentar:

Posting Komentar

Template by : kendhin x-template.blogspot.com