Berbondong-bondong menuju KEMULIAAN ORANG LAIN, namun tak jarang tersesat kala mencari KEMULIAAN DIRI SENDIRI.
Saudaraku tercinta,
Jika kita ditanya, siapa yang sesungguhnya berhak menyandang kemuliaan?Tentu kita akan menjawabnya kompak bahwa semua berhak, karena kemuliaan adalah hak bagi makhluk bernama manusia. Bahkan bukan hanya manusia, semua makhluk sesungguhnya punya "kapling kemuliaan" masing-masing di sisi Tuhan Sang Pencipta.
Namun jika pertanyaannya adalah berapa banyak di antara kita yang merasa dirinya "tidak suci", "tidak mulia", dan "tidak-tidak" sejenis lainnya? Maka mungkin jawabannya bisa beragam. Ada yang percaya diri telah memiliki kemuliaan itu. Atau ada yang tak mengakuinya tetapi ada pengakuan dari kebanyakan manusia jika kemuliaan itu sebagai bagian dari identitasnya. Dan ada juga yang tidak yakin (atau bahkan tidak berani mengakui) jika kemuliaan itu menjadi bagian dari dirinya. Tapi yang jelas, bagi kita umat beriman, derajat "suci", "mulia", "terhormat" sungguh adalah impian yang ingin dicapai. Syukur-syukur jika derajat tersebut bermuara pada "kebahagiaan abadi" di alam ukhrowi, alam kehidupan pasca kematian duniawi.
Mereka yang berharap, maka perasaan tersebut mendorongnya untuk berlomba-lomba meraihnya. Ada yang berhasil mencapainya, ada yang masih setengah perjalanan, dan ada juga yang tampak "putus asa" dan berhenti di tengah jalan.
Tidak ada yang salah dari kepercayaan ini : meyakini bahwa Tuhan punya wakil-Nya di dunia. Wakil yang sebagian besar sifat-sifatNya "dititipkan" kepada mereka. Mereka itu adalah para rasul, nabi, waliyullah, ulama, habibullah, ahli hikmah, dan semacamnya. Mereka jelas adalah individu dengan kesucian hati berkat kedekatan kepada Tuhan, kebersihan jiwa akibat keberanian menomorsatukan Tuhan meski dikepung keindahan dan kenikmatan dunia. Level mereka berada beberapa tingkat di atas kebanyakan manusia, karena mereka yakin kenikmatan satu-satunya hanyalah karena Tuhan yang menghendaki dan "membayarnya". Mereka memiliki karomah alias status kemuliaan.
Para muliawan itu akhirnya yang kemudian menjadi "rujukan" kaum awam, terutama bagi siapa saja yang meyakini jika dengan wasilah (perantara) kemuliaan itu maka kaum awam yakin doa mereka didengarkan, usaha mereka diperlancar, hidup lebih barokah.
Demi semua itu, mereka rela berbondong-bondong, berdesak-desakan, melepuh kepanasan, menggigil kedinginan, tak ada lagi perbedaan antara biaya besar dan kecil yang dikeluarkan, bahkan hingga berdarah-darah sekalipun. Mereka percaya, kemuliaan kaum pilihan itu bisa menyelamatkan hidup mereka, sehingga pantas untuk dibudayakan, disakralkan, dan waktu hingga umur mereka habis untuk mengejar "percik-percik" kemuliaan itu.
Tetapi benarkah jika hanya itu satu-satunya sumber kemuliaan hidup ini? Benarkah kita tidak punya kesempatan yang sama untuk mencapai kemuliaan itu?
Saudaraku tercinta.
Sesungguhnya kesempatan kita sama, karena Tuhan Maha Adil dengan kuasa-Nya. Yang membedakan akhirnya hanyalah usaha dan riyadah masing-masing. Usaha yang diproses sehingga menghasilkan perbedaan kebeningan hati dan kesucian jiwa setiap insan yang memburunya.
Wallaah a'lam ...
0 komentar:
Posting Komentar